Gerakan radikalisme berkembang melalui media sosial. Perkembangan ini mempunyai hubungkait dengan kecerdasan seseorang dalam memahami watak media umum. Mereka yang praktis terpengaruh dan praktis terpapar, umumnya mereka membutuhkan sandaran kebenaran yg sedang diperjuangkannya.
saat kebutuhan itu terpenuhi, gelora perjuangannya sebagai-jadi hingga melewati batas kepatutan. waktu itulah gerakan radikal bagi seseorang menjadi tindakan. Tindakan radikal itu keliru satunya merupakan teror. Radikalisme akar terorisme ketika dia sebagai aksi.
semua orang punya sikap radikal, karena dalam ilmu filsafat, berpikir radikal (radix, akar) itu adalah syarat. Berpikir hingga ke akar dilema. Radikal menjadi alat dalam sistem berpikir.
pada perkembangannya, kata radikalisme mengalami penyimpangan makna. Kadang-kadang terjebak dalam makna peyoratif sinkron menggunakan kehendak kalimat berasal orang-orang yang mengucapkannya. Apalagi digunakan oleh mereka yang hampir tidak mengerti makna berasal, makna historis, makna politis di baliknya. Radikalisme intinya merupakan diksi yg netral.
banyak diksi yg mempunyai beban yang berat karena masalah politik. Apalagi pada media umum, orang mengucapkannya tidak sesuai makna historis namun makna politis serta peyoratif. Radikalisme punya persaudaraan yang dekat dengan diksi fundamentalisme, extremisme, sektarianisme. Bahkan Jika menelusuri ruang-ruang sejarah, kita akan mendapatkan pola pemikiran dan gerakan serupa ini hingga jauh ke dalam. kini orang tidak mau berdalam-dalam, kedangkalan sedang dirayakan. Makna mengalami pengikisan, makna yg kadang-kadang terasa lucu.
media umum ialah kemajuan peradaban yg bersenjangan dengan kemampuan cara adaptasi publik dengannya. terdapat yg baik, ada yang jelek di media umum. Bagi yg cerdas, akan menggunakannya dengan baik, bagi yang lebih cerdas, akan menggunakan untuk kepentingan politik, ekonomi serta usaha. Kadang-kadang berpoles pula menggunakan bahasa kepercayaan . Bagi yang tidak memahami tabiat media sosial menjadi alat buat melancarkan dampak, akan segera terpengaruh.
Era post-truth ini, orang seringkali mencari dalil, sekalipun lemah sesuai menggunakan asa nafsu. di titik inilah, logika dan perasaannya dipaksakan buat mengikuti hawa nafsu. media sosial mengakomodasi ini sebagai akibatnya mendukung berkembangnya pemikiran dan gerakan radikalisme. ada pertemuan kepentingan para level pemikiran yg sama pada agama, politik, ekonomi, kekuasaan, pada media umum. Mereka bersatu, mengeras, membangun tembok dan siap berkonflik menggunakan perbedaan yang memang alamiah dalam kehidupan ini. Pemikiran serta gerakan radikal cenderung membunuh sifat toleransi, saat ada disparitas, bukan persamaan pikiran yg dicari namun menegakkan pemikiran sendiri, memaksa, dengan dalil yg dangkal munculah diksi-diksi yg tidak elok . Kasar, jauh dari kearifan pada komunikasi efektif.
Pengalaman merampungkan program doktor sepanjang tahun 2016-2019, lalu menulis disertasi menggunakan judul “Diskursus Islam pada masa ini pada Media Massa; Kajian terhadap Radikalisme dalam Artikel terkenal Harian Kompas serta Republika 2013-2017 (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah: 2019), menunjukkan bagitu poly faktor-faktor kenapa berkembangnya pemikiran dan gerakan radikalisme, sinkron dengan tahapan kesusahan buat meluruskannya. di satu sisi, berpikir radikal diharapkan buat ketajaman akibat namun di satu sisi lain, orang mampu karam dalam pikiran radikal sendiri dan memaksanya pada lingkungannya.
Catatan paling menarik, ketika radikalisme menjadi booming dibahas melebar ke mana-mana, aparat pemerintah kadang-kadang juga gagal paham mencari formula penyelesaian. aku justru bersetuju menggunakan Eric Fromn yang menyatakan, radikalisme acapkali kali dimulai asal kehampaan kepribadian pada ruang sosial. ad interim, setiap eksklusif butuh eksistensi, ketika keberadaan itu tidak dihasilkan, sempitnya kesempatan, menghasilkan seorang mencari jalan lain buat diakui oleh lingkungannya. Ditambah lagi, faktor ekonomi, pendidikan, yg akhirnya menentukan jalan radikal bersandar di kepercayaan , sebagaimana kepercayaan menjadi pokok peradaban insan paling aman untuk sandaran kekalahan.
Jadi, orang menjadi radikal jua karena kegagalan negara pada mengelola kesempatan bagi rakyatnya, pula tidak sanggupnya negara pada mengakomodasi dan menjalankan amanat UUD 45 dan Pancasila, memberi keadilan, kesejahteraan serta kemakmuran kepada rakyatnya.
Radikalisme tumbuh pada media umum karena medium ini memiliki kebebasan tanpa batas dalam membuatkan pikiran-pikiran pada khalayak. pada media massa, ada pakem jurnalistik yg akan membatasi, sementara media umum mampu dirancang semaunya dan dituju bebas kepada siapa juga. tetapi bagi yang cerdas pada bermedia sosial tidak simpel mendapatkan pikiran-pikiran pada bentuk apapun, termasuk pikiran radikal, berasal media umum. Mereka akan mencerna dan menganalisis dengan baik setiap informasi yg tiba, tidak main telan serta percaya, lalu bersetuju tanpa berpikir lebih mendalam. media sosial adalah medium yang netral, para penggunanyalah yg mempunyai kepentingan. seluruh orang punya kepentingan, sesuai kadar nalar masing-masing.*